Selasa, 09 Desember 2008

Kantin Kejujuran VS Kemunafikan Birokrasi

Membaca berita tentang kantin kejujuran yang dibuka di berbagai sekolah di Indonesia benar-benar memancing keingintahuan. Apakah kantin kejujuran itu ?.Kantin Kejujuran adalah sebuah warung yang dibuka di sebuah sekolah tetapi tidak ada penjaga yang menjaga segala dagangan di warung tersebut. Pembeli dalam hal ini siswa mengambil / membayar / mengambil uang kembaliannya di kantin tersbut tanpa ada penjaga sehingga dia hanya di harapkan jujur .Kalau mengambil barang seharga Rp.10.000,- , maka dia juga diharapkan membayar sejumlah yang sama dan diletakkan di dalam kotak yang disediakan. Ketia mengambil uang kembalian juga diharapkan kejujuran dari para siswa.

Menarik untuk diperhatikan disini. Aspek kejujuran yang diterapkan. Sebenarnya tidak menjadi masalah, sangat mulia, mendidik siswa untuk menjadi jujur dan menerapkan prinsip kejujuran dalam jual beli dalam keseharian para siswa.

Yang menjadi pertanyaan dan kegusaran adalah seolah-olah menyatakan bahwa para siswa itulah sumber ketidakjujuran dalam kehidupan bernegara ini, bukan para birokrat yang menyelenggarakan kehidupan bernegara.Sumber ketidakjujuran ada pada para siswa sekolah sedangkan para birokrat yang meresmikan dan membuka sekolah kejujuran tersebut bersih dari ketidak jujuran. Padahal, kalau kita lihat keseharian di Negara ini, maka sumber ketikjujuran yang telanjang diperlihatkan oleh para birokrat tersebut.
Ketidakjujuran dalam pengelolaan anggaran. Anggaran yang tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Siswa di latih kejujuran itu bagus. Tetapi akan lebih bagus lagi kalau warung kejujuran juga dibuka di kantor Pemerintah. Di Instansi Pemerintah. Warung kejujuran dalam konteks penggunaan anggaran dan lain sebagainya.Di kantor para orang tua dari para siswa. Bukan para siswa sekolah fokus utamanya, tetapi para orang tua yang mempunyai kewenangan pengelolaan keuangan Negara tersebut.

Pembukaan warung kejujuran di sekolah dan dipublikasikan secara luas oleh media membuat seolah-olah sang pembuka / yang meresmikan / borokrat yang meresmikan sekolah kejujuran tersebut telah benar-benar jujur. Apakah demikian adanya…?
Marilah kita renungkan di hati kita masing-masing, wahai para birokrat, apakah telah benar-benar menerapkan prinsip kejujuran tersebut dalam peri kehidupan penyelenggaraan keuangan Negara.

Mari kita bersama-sama merenung……

1 komentar:

  1. Jangan berpikir terlalu sempit mas. Dari tulisan anda aku ndak menarik kesimpulan klo birokrat lebih jujur dan siswa sumber ketidak jujuran. Dalam porsi ini siswa sebagai generasi mendatang dilatih untuk jujur. Kan bagus! Bagus juga kalau kantin kejujuran dibuat di instansi, untuk melatih kejujuran.
    Di pasca sarjana uns ada kulkas kejujuran. Siapa yang mau minum ambil sendiri etung sendiri bayar sendiri ambik susuk semdiri. Udah berjalan bertahun tahun ndak pernah rugi malah kadang kebanyakan uangnya.
    Satu hal lagi yg sy tanggapi. Tidak harus orang jujur yg menganjurkan kejujuran. Dari pada mengajarkan kebohongan? Kan lebih baik mengajarkan kejujuran. Tidak harus orang pinter yg menyuruh orang untuk belajar. Tidak harus orang kaya yang menganjurkan untuk berusaha jd orang kaya.
    Tidak harus orang yg sudah masuk sorga yg menyuruh orang berbuat baik agar masuk sorga. Emang ada orang yg sudah masuk sorga?
    Kadang kita ndak perlu melihat siapa yg mengatakan tapi resapi saja apa yg dikatakan. Kalo ada anjing yg mengongong tengah malam, apa kita mau ngomong, cuma anjing kok dipercaya!
    Seperti yg sering diucapkan Tukul, dont look the book just from the cover.

    BalasHapus